Ada satu masa dalam hidupmu…
Dimana kau merasa bahwa kau tidak bisa pergi ke mana pun.
Bukan karena pintu terkunci, bukan karena rantai besi melilit tanganmu… tapi karena hidupmu sendiri adalah penjara itu.
Kadang alasannya sederhana—uang.
Kadang lebih rumit—keluarga, tanggung jawab, orang-orang yang harus kau jaga.
Atau, yang paling licik, rutinitas harian yang kelihatannya wajar: sekolah, kuliah, pekerjaan. Semua itu membentuk jeruji yang bahkan tidak pernah kau sadari sedang mengurungmu… sampai suatu hari kau mencoba melihat ke luar.
Dan di luar sana… ada sesuatu yang memanggil.
Sebuah kesempatan.
Sebuah jalan.
Sebuah “panggilan” yang mungkin orang lain tidak akan pernah mengerti.
Bukan karena mereka bodoh, tapi karena panggilan itu tidak berbicara pada semua orang—hanya pada mereka yang hatinya masih cukup peka untuk mendengarnya.
Masalahnya… kau tidak bisa menjawab panggilan itu.
Entah kenapa.
Mungkin karena kau merasa tidak layak.
Mungkin karena pikiranmu sudah terlalu bising, dipenuhi suara-suara yang mengatakan, “Tidak sekarang… tunggu dulu… nanti saja.”
Atau mungkin karena kau bahkan sudah terlalu nyaman dengan jeruji penjara itu.
Waktu berjalan.
Panggilan itu memudar.
Sampai suatu hari, kau terbangun—kepalamu jernih untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—dan kau sadar…
Kau sudah melewatkannya.
Kesempatan itu.
Jalan itu.
Mungkin… satu-satunya pintu keluar yang pernah terbuka untukmu.
Dan yang lebih menyakitkan bukanlah kehilangan kesempatan itu… tapi menyadari bahwa tidak ada yang bisa kau salahkan. Tidak dunia. Tidak keadaan. Tidak orang lain.
Hanya dirimu sendiri.
Itulah kejamnya penjara kehidupan.
Ia tidak memenjarakanmu dengan paksaan… ia membuatmu memenjarakan dirimu sendiri.
Kau mungkin berpikir, “Tidak apa-apa. Akan ada kesempatan lain.”
Benar… kadang ada.
Tapi tidak semua panggilan datang dua kali.
Beberapa hanya datang sekali… lalu hilang, bersama bagian dari dirimu yang dulu berani memimpikan hal itu.
Dan ketika itu hilang, yang tertinggal hanyalah rasa sesak.
Rasa terjebak.
Rasa seperti… kau berjalan dalam lingkaran yang sama setiap hari, dengan dinding yang tidak pernah bergeser satu milimeter pun.
Dari luar, orang mungkin melihatmu baik-baik saja.
Kau tertawa di waktu yang tepat, mengangguk saat orang bicara, membalas sapaan seperti orang normal.
Tapi di dalam… kau tahu kau sedang membusuk.
Sedikit demi sedikit.
Penjara kehidupan tidak selalu terlihat seperti penderitaan.
Kadang, penjara itu justru terlihat seperti kenyamanan.
Tempat tidur yang empuk. Pekerjaan yang stabil. Lingkungan yang aman.
Tapi hati yang dibiarkan terlalu lama di dalamnya akan layu.
Dan yang mati lebih dulu bukan tubuhmu… tapi jiwamu.
Kau pernah merasa ingin pergi jauh?
Bukan sekadar liburan.
Tapi benar-benar pergi.
Pergi dan tidak kembali.
Bukan karena kau membenci hidupmu… tapi karena kau tahu ada sesuatu di luar sana yang menunggu. Sesuatu yang hanya akan datang jika kau berani melangkah keluar dari penjara ini.
Masalahnya…
Kau tidak tahu caranya.
Atau, lebih tepatnya, kau tidak yakin kau punya kekuatan untuk mematahkan jeruji itu.
Dan setiap kali kau mencoba, selalu ada alasan yang menahannya:
“Aku tidak punya uang.”
“Aku tidak bisa meninggalkan keluarga.”
“Aku harus menyelesaikan ini dulu.”
“Aku tidak siap.”
Sampai akhirnya… alasan-alasan itu berubah menjadi kebenaran.
Dan jeruji penjara itu makin tebal.
Mungkin ini adalah bagian yang paling menakutkan:
Penjara kehidupan tidak selalu memaksamu untuk berhenti bermimpi.
Ia membiarkanmu tetap bermimpi—tapi sambil mengikat kakimu agar kau tidak pernah benar-benar mencapainya.
Kau tetap bisa membayangkan… tapi tidak bisa mendekat.
Dan suatu hari, tanpa kau sadari, kau berhenti mencoba.
Bukan karena kau sudah puas… tapi karena kau lelah.
Lelah berharap.
Lelah menunggu.
Lelah percaya bahwa suatu hari akan ada pintu yang terbuka lagi.
Tapi jika kau masih membaca ini…
Mungkin bagian dari dirimu masih ingin keluar.
Kalau begitu, dengarkan baik-baik:
Penjara kehidupan tidak akan runtuh dengan sendirinya.
Tidak ada yang akan datang untuk menyelamatkanmu.
Dan tidak ada waktu yang “tepat” untuk melangkah keluar—selain sekarang.
Tentu, keluar dari penjara berarti mengambil risiko.
Mungkin kau akan kehilangan kenyamanan yang selama ini melindungimu.
Mungkin kau akan jatuh.
Mungkin kau akan gagal.
Tapi lebih baik gagal di luar… daripada mati perlahan di dalam.
Karena penjara kehidupan itu licik.
Ia tidak membunuhmu cepat-cepat.
Ia membiarkanmu tetap hidup… cukup untuk menjalani hari demi hari… tapi tidak cukup untuk benar-benar merasa hidup.
Dan ketika kau akhirnya sadar…
Itu mungkin sudah terlambat.
Pernahkah kau mengalaminya.
Pernahkah kau merasakan hal yang sama...?
Ceritakan padaku, apa yang mungkin terlintas di benakmu.
0 Komentar
Sampaikan pendapat dan pemikiranmu...