ads-header

header ads
header ads

Jebakan Tak Kasat Mata: Saat Kau Menyebutnya "Malas"

Kau tahu apa yang paling menyedihkan?
Bukan ketika hidup menghantammu habis-habisan… tapi ketika tidak ada yang menghantammu sama sekali. Tidak ada badai, tidak ada tragedi besar—hanya hidup yang datar, membosankan, dan terlalu hening untuk kau banggakan.

Ironisnya, dari tempat kosong itu, lahir satu penyakit: kemalasan.
Dan jangan salah—kemalasan bukan sekadar “tidak mau bergerak.” Ia jauh lebih licik dari itu.



Kau tahu persis apa yang harus kau lakukan.

Kau tahu apa yang ingin kau capai.
Kau bahkan tahu setiap langkah kecil yang harusnya kau tempuh untuk sampai ke sana.

Tapi kau tidak melangkah.
Bahkan saat kau memulai, kau berhenti. Hanya beberapa menit setelahnya, seolah langkah itu tak pernah ada.

Kau bilang kau butuh semangat. Bohong.
Yang sebenarnya kau tunggu adalah mukjizat—sesuatu yang jatuh dari langit dan menarikmu keluar dari rawa ini tanpa kau harus menggerakkan otot sedikit pun.


Lihat dirimu.
Kau punya waktu. Kau punya kesempatan. Kau bahkan punya akal sehat untuk menyadari bahwa menunda hanya akan menambah jarak antara dirimu dan kehidupan yang kau inginkan.

Tapi apa yang kau lakukan?
Kau mengisi waktumu dengan scroll tanpa arah.
Kau menonton video demi video, meyakinkan diri bahwa “ini hiburan” padahal itu cuma pelarian.
Kau bilang kau ingin tidur lebih awal, tapi jam sudah lewat dua jam dari batas wajar dan matamu masih terpaku ke layar, berharap ada sesuatu yang memuaskan dari konten berikutnya—sesuatu yang tidak pernah benar-benar datang.

Dan besoknya, kau bangun dengan kepala berat, tubuh lemas, dan alasan baru untuk berkata, “Hari ini aku tidak maksimal.”


Kau coba membuat jadwal. Indah sekali, penuh rencana. Setiap jam terisi, setiap tugas tersusun rapi.
Lalu?
Kau biarkan kertas itu jadi hiasan meja. Tak satu pun jadwal itu benar-benar kau ikuti. Bahkan, sebagian besar hanya jadi pajangan egomu, bukti palsu bahwa kau “serius” ingin berubah.

Lalu kau buka buku, dan menatap halaman pertama. Kata-kata ada di sana, tapi otakmu kosong. Seperti menonton hujan dari balik jendela—kau melihatnya, tapi tak ada yang menyentuhmu.


Kau bertanya, “Apa sebenarnya kemalasan itu?”
Bukan. Ini bukan sekadar rasa lelah.
Ini adalah pembusukan perlahan—proses diam-diam di mana kau masih bernafas, tapi jiwamu berhenti bergerak.

Kau tidak benar-benar lelah karena berjuang terlalu lama.
Kau lelah karena terlalu lama tidak bergerak, terjebak dalam lingkaran yang bahkan tidak memerlukan upaya untuk memutarnya.

Dan yang lebih menakutkan…
Kau mulai terbiasa.


Lalu sekarang kau membaca ini, mungkin sedikit mengangguk, mungkin sedikit tertusuk.
Tapi sebentar lagi, kau akan menutup tulisan ini, membuka ponselmu, dan kembali ke pola yang sama.

Karena di lubuk hatimu, kau takut—takut bahwa jika kau benar-benar berusaha, dan tetap gagal, maka semua pembenaranmu akan runtuh.
Maka kau memilih bertahan di sini: di zona nyaman yang sebenarnya menyakitkan.


Tapi ingat satu hal.
Rawa ini tidak akan membunuhmu seketika.
Ia akan menggerogotimu pelan-pelan, sampai suatu hari kau sadar… sudah terlalu tua, terlalu lelah, dan terlalu terlambat.

Pertanyaannya:
Apakah kau akan membiarkan itu terjadi?
Atau kau akan bangun—bukan besok, bukan lusa—tapi sekarang… sebelum jiwa dalam dirimu berubah jadi kuburan permanen?

Posting Komentar

0 Komentar