ads-header

header ads
header ads

Korupsi Dini : Sebuah Kebiasaan "Normal" Masa Kecil tak Disengaja yang Nampaknya menjadi Bibit Tindakan Buruk di Saat Dewasa

Kalau kita berbicara soal korupsi, biasanya terpikirkan adalah soal politik, penggelapan atau penyelewengan uang negara. 

Emosi yang muncul biasanya adalah munculnya rasa marah dari kebencian yang luar biasa pada para koruptor. 

Tetapi kurasa para pembaca cerdas sekalian pun juga menyadari bahwa pemikiran yang muncul ketika dalam keadaan emosi tidaklah menghasilkan sebuah pemikiran jernih yang dapat menciptakan solusi. 

Bukan berniat menggurui, hanya sekedar berbagi informasi, namun tahukah para pembaca sekalian, bahwa korupsi (mayoritas) juga sudah ditanamkan sejak kita masih kecil. 

Ups, mungkin ada yang bertanya,"Hah??!! Kog bisa? Masa' iya??" Sebelum masuk lebih dalam, mungkin kita harus mengerti terlebih dahulu, seperti apa sih yang dinamakan sebagai korupsi itu? 

Dalam KBBI disebutkan bahwa:

korupsi/ko·rup·si/ n penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain;
-- waktu cak penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi;

mengorupsi /me·ngo·rup·si /v menyelewengkan atau menggelapkan (uang dan sebagainya)

Mengacu pada penjelasan di atas, dalam hal ini berarti, tidak hanya penyalahgunaan uang negara, melainkan juga pada perusahaan dan sebagainya, yang artinya, konteks yang digunakan bisa lebih luas lagi dengan kata kunci tetap yakni: penyelewengan ataupun penyalahgunaan uang untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Masakaki - The Money of Soul and Possibility Control

Salah satunya adalah ketika seseorang diberikan dana untuk mengerjakan apa yang telah ia ajukan dalam proposal miliknya yang telah disetujui, kemudian setelah dana yang diberikan tersebut digunakan.

Maka wajib bagi orang tersebut untuk membuat laporan pertanggungjawaban keuangan mengenai untuk apa saja uang tersebut digunakan, dan disinilah korupsi terjadi, saat seseorang tersebut tidak mampu menuliskan dengan rinci, jujur dan terus terang tentang penggunaan uang tersebut. 

Dalam perkuliahan ada program yang dikenal dengan nama PKM(Program Kreativitas Mahasiswa), juga PMW(Program Mahasiswa Wirausaha) yang merupakan sebuah program oleh pemerintah (Karena ini program pemerintah, maka dana yang diberikan bisa kita kategorikan juga sebagai uang negara) berupa kontes, atau mungkin kompetisi, perlombaan sebagai wadah dimana mahasiswa yang memiliki ide yang tentu saja bertujuan baik harus menyusun sebuah proposal yang nantinya apabila proposal tersebut diterima. 

Maka ia dan timnya akan mendapatkan dana (yang bisa mencapai angka 8-10 juta per tim hingga artikel ini ditulis tergantung keputusan juri) untuk mewujudkan ide besarnya tersebut, dana yang diberikan bisa kurang atau lebih dari dana yang ia ajukan, dan mereka akan diberikan waktu kurang lebih satu semester untuk menyelesaikan dan mensukseskan ide mereka tersebut.

Lalu, tentu saja karena ini adalah uang negara, maka mereka haruslah melaporkan keuangannya dalam sebuah laporan akhir. Disini pernah muncul sebuah pertanyaan yang diajukan pada seorang dosen oleh mahasiswanya dalam sebuah workshop awal PKM, sang mahasiswa bertanya,

"Pak, bagaimana apabila dana yang kami terima dari pemerintah tersebut melebihi akan apa yang kami butuhkan? Lagipula pada mulanya, dana yang kami ajukan dalam proposal merupakan dana perkiraan, apakah kami dapat mengembalikan uang lebihan tersebut?", 

Jawab sang dosen selaku pembicara adalah tidak bisa, mereka harus menggunakan semua uangnya, bagaimanapun caranya bisa sesuai dan pas dalam laporan dengan jumlah uang yang diterima.

Dengan kata lain, dipaksa untuk meng-"korupsi", karena tidak tahu harus bagaimana, mereka harus berpikir bagaimana untuk membuat semuanya tampak sempurna pada laporan akhir, mulai dari membeli barang-barang yang tidak ada hubungannya sama sekali, sampai memalsu nota laporan keuangan. oke, cukup sampai di sini, lanjut ke contoh di masyarakat.

Sebuah uang sumbangan, modal pembangunan masjid, modal perbaikan jalan, modal pembangunan jembatan, iuran rekreasi bersama, atau apapun itu, yang dalam contoh kali ini, difokuskan pada penyelenggara yang diharuskan memamerkan rincian keuangannya pada penduduk yang ikut memberikan sumbangan. 

Tampak pada baliho atau banner, yang anda temui di sekitar anda, atau tercantum di papan pengumuman (mayoritas) memiliki angka sangat bulat dimana bisa mencapai titik ratusan ribu atau bahkan juta, dalam artian, sebagai contoh, tertulis pada baliho: 

"Sisa saldo iuran rutin RW per bulan April 2015 sebesar Rp. 12.700.000,-"

Menjadi sebuah pertanyaan, apakah masuk akal, sebuah pengeluaran acak dengan berbagai kebutuhan maupun sumber pembelanjaan, menjadikan angkanya tercetak rapih hingga ada 5 deret angka nol, mungkin kalau kita berpikir positif, 

"oh, sebuah kebetulan bisa saja terjadi kan?". 

Ya, tentu saja bisa, namun, apakah kebetulan itu terjadi di setiap bulannya, yang seperti itu kurasa bukan kebetulan namanya, tetapi memang disengaja dengan berbagai alasan, supaya mudah menghitungnya lah, atau "toh, orang2 juga tidak mempedulikannya". 

Kasus seperti ini dinamakan "Mark-Up", membulatkan nominal uangnya.

Kalau ditanya, sebenarnya, kebiasaan ini bermula sejak kapan sih, dan mengapa hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan yang wajar-wajar saja di masyarakat, namun tidak boleh terjadi dalam pemerintahan? 

Bukankah orang-orang yang mengisi pemerintahan, tadinya dan nantinya juga merupakan masyarakat. 

Bukannya ingin menjustifikasi perlakuan korupsi yang terjadi di pemerintahan, namun, marilah kita bersikap adil. Bila kita membenci mereka melakukan tindak korupsi. 

Maka seharusnya dalam kehidupan bermasyarakat pun kita tidak melakukan hal yang dinamakan sebagai korupsi.

Sebenarnya seringkali juga kita melihat sendiri bibit korupsi sudah terlihat bahkan ketika anak-anak masih berusia satu digit. 

Sebagai contoh, sang bocah ditugaskan untuk membeli rokok oleh ayahnya, ia diberikan uang sebesar 20000, kemudian ketika sang bocah pulang, ia sudah dibiasakan untuk menerima semua kembalian sebagai upahnya tanpa diberikan penjelasan. 

Menurut pandangan subyektifku, hal ini merupakan contoh pendidikan yang buruk, seakan, semua tindakan pertolongan harus mendapatkan bayaran. 

Padahal membantu orang tua memang sudah menjadi tugas dan kewajiban seorang anak.

Kebiasaan yang seperti ini secara tidak langsung akan menjadikan bocah yang tidak bisa ikhlas membantu, karena akan selalu memikirkan imbalan apa yang akan diberikan. 

Dan ketika ia tahu bahwa imbalannya tidak cukup besar, maka ia tidak akan membantu. Lalu, berujung pada proses dimana, "bila kau memberiku imbalan besar, maka aku akan membantumu", yang seperti inilah yang tidak beres.

Harus ada penjelasan yang lugas pada sang calon manusia dewasa bagaimana bersikap profesional, tahu batasan, tahu perbedaan, mana tindakan yang disebut sebagai bantuan, mana tindakan yang merupakan gratifikasi, mana pula hal yang termasuk kewajiban yang tidak sepantasnya ia meminta imbalan darinya.

Kita hidup bermasyarakat, bukan masyarakat yang membentuk orang-orang, namun orang-orangnya lah yang membentuk masyarakat, bila semua individu menjadi baik, maka akan tercipta pula masyarakat yang baik.

Pernahkah kau mengalami kejadian serupa, bagaimana dirimu memandang kejadian seperti ini?

Ceritakan kisahmu kawan, sampaikan pendapat dan cara pandangmu tentang kehidupan, kau dapat menuliskannya di kolom komentar di bawah.

Setiap ceritamu bisa menjadi inspirasi bagi kita semua yang membacanya.

Atau bila kau ingin, kau pun bisa menjadi bagian dari situs ini dengan cara mengirimkan cerita/naskahmu ke Kirim Kisahku. 

Terima kasih.

Posting Komentar

0 Komentar